Salam Babab,
Perjalanan gua pertama kali sebagai nahkoda ini dimulai pada tanggal 6 Agustus 2006 atau sekitar 5 tahun yang lalu dimana untuk pertama kalinya (semoga yang terakhir) gua mengucapkan ikrar suci kepada Bapak Sumantri Elon a.k.a Abah Maman untuk bersedia menikahi putrinya yang bernama mIRAnti Permata Dewi atau yang biasa kusebut Milup.
Yups itulah awal perjalanan sebagai nahkoda kapal itu saat gua selesai mengucapkan ikrar dengan lantangnya dihadapan banyak orang “saya terima nikahnya Miranti Permata Dewi binti Sumantri Elon dengan mas kawin uang sebesar 141102 rupiah dan perhiasan seberat 18,4 dibayar tunai” dan saat saksi yang ditunjuk mengatakan “SAH” itulah hati rasanya lega yang tidak bisa diceritakan π
Saat itu gua cuma bisa bilang dalam hati “Alhamdulillah bisa nikah muda diusia 25 dan semoga semuanya berjalan lancar”. kenapa gua bilang gitu, karena memang gua sendiri punya cita-cita nikah muda dan bila diberi kelancaran oleh Allah SWT tepat nanti anak gua 25 juga gua masih bisa menikahkan anak gua kelak (terlalu jauh kali yah mikirnya).
Tidak lama setelah pengucapan ikrar itu berlangsung, gua pun diberi kabar gembira oleh istri tercinta bahwa dia hamil dan benar saja begitu cek ke dokter usia kandungannya sudah berjalan 2 bulan dan sekali lagi gua mengucap syukur karena diberikan kelancaran untuk bisa cepat memiliki momongan walaupun pada saat itu kami berdua berprinsip “apabila dikasih cepet syukur apabila belum dikasih berarti belum sanggup” walaupun begitu kami tetap berusaha dengan jurus Nahkoda NGADIHAB (yang mau tau jurusnya japri yah hehe5X).
Ternyata Allah itu maha adil, jalan hidup kita ini tidak selalu diberikan kelancaran tapi jangan pernah kita merasa kecil hati karena Allah pasti tahu segala yang terbaik buat kita, perjalanan itu gua alami saat istri gua memasuki usia kehamilan 7 bulan dimana saat itu istri gua juga kerja di Jakarta sedangkan kami tinggal di Bogor yang setiap harinya jarak 120km (pp) harus kami tempuh dengan kisaran waktu 2 jam untuk sekali perjalanan menggunakan bis umum.
Sedih campur rasa takut saat turun dari bis di UKI untuk naik ojek ke kantor, dengan kondisi istri hamil besar dan membiarkannya naik ojek itu sesuatu hal yang cukup meresahkan gua, sampe pernah gua bilang sama tukang ojek nya “mas biar saya yag boncengin istri saya aja, mas nya ngikutin di belakang pake ojek satu lagi” yang tidak pernah direstui oleh tukan ojek manapun π¦ ya iyah lah takut nanti dibawa kabur kali motornya π
cobaan itu juga sering terjadi saat pulang kantor dimana kami harus berebut untuk mendapatkan bis ke Bogor dengan kondisi orang-orang di Jakarta yang begitu cuek nya tidak menghiraukan ada ibu hamil yang juga ingin naik ke bis bahkan tidak jarang pula istri gua kena sikut orang karena saking berdesakannya, saat sudah naik di dalam bis sendiri masih harus berebut mendapatkan tempat duduk. Pernah beberapa kali gua minta sama penumpang yang masih muda untuk bisa memberikan tempat duduknya buat istri gua dari mulai bahasa yang halus “mas maaf mau nggak ngasih tempat duduk buat ibu hamil?”, bahasa nyogok “mas, mau nggak ongkosnya saya bayarin asal istri saya bisa duduk”, hingga bahasa kasar “mas, nggak malu masih muda tapi nggak kasihan lihat ada ibu hamil harus berdiri sementara situ pura-pura tidur dan nggak lihat?” dengan nada yang sedikit keras, tapi itulah Jakarta terlalu sedikit ada orang yang mau simpati, hanya segelintir orang yang rela memberikan tempat duduknya buat istri gua itupun rata-rata bapak-bapak yang mungkin dalam pikirannya tidak mau hal seperti itu kejadian kepada istrinya.
Sedikit cobaan diatas menjadikan kami untuk lebih tough dan struggle dalam menjalani keseharian, dan Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungan istriku sehat dan kuat walaupun pernah beberapa kali harus bed rest karena ada flek yang bisa menyebabkan gangguan kehamilan.
……..
Tepat pada tanggal 8 Mei 2007 setelah menunggu lama karena tidak boleh masuk ke ruang bersalin, pukul 07.58 putri pertama gua lahir dengan selamat melalui proses kelahiran cesar dengan berat 3.46 kg dan panjang 50cm langsung terucap kalimat spontan didalam hati sambil sedikit meneteskan air mata bahagia “Ya Allah, terima kasih engkau telah memberikan anugerah lainnya buat aku dan kuatkan aku untuk bisa membimbing anak istriku menjadi seorang kepala keluarga yang baik”.
Rasa bahagia itu lebih terasa lagi saat gua mengumandangkan adzan di kedua telinga anak gua lalu membacakan beberapa surat pendek untuknya sambil meneteskan air mata penuh kebahagiaan, yang sampai saat ini moment itu tidak pernah gua lupakan.
Setelah selesai menjalani proses recovery istri gua, akhirnya kami sepakat untuk menamakan putri kami Ghania Diandra Respati dimana arti Ghania (bahasa Arab) = wanita yang cantik, Diandra = singkatan dari Dito and Ira (lebay sih dan ternyata ada artinya juga dalam bahasa sansakerta yaitu asmara), Respati = singkatan dari resep ning ati yang merupakan nama tengah gua dan apabila diartikan semuanya adalah “wanita yang cantik anaknya Dito and Ira yang selalu disukai hati” atau bisa juga “wanita yang cantik penuh asmara dan disukai hati”
Saat Ghania lahirlah saatnya tugas dan peran gua sebagai seorang nahkoda bertambah dalam membawa “awak kapal” mengarungi samudera kehidupan dengan segala rintangannya. Yups, nahkoda disini artinya adalah sebagai kepala rumah tangga yang harus bisa dijadikan seorang panutan oleh istri dan anaknya yang tentunya dengan cara yang benar dan berharap mendapat barokah dari Allah SWT.
—-bersambung ah π ——